Kebijakan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang di dalamnya menyangkut otonomi, dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Kedua undang-undang tersebut tidaklah cukup hanya disikapi dan dipahami semata, melainkan harus dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara di daerah melalui sinergitas aparatur dalam melaksanakan tugas dan fungsinya masing-masing. Karena itu, tugas utama dalam rangka penguatan eksistensi pemerintahan termasuk pemerintah daerah adalah menciptakan pemerintahan yang secara politik akseptabel, secara hukum efektif, dan secara administratif efisien.
Setiap pemerintah daerah memiliki ciri khas persoalan yang berbeda-beda. Hal ini, dapat dilihat pada salah satu daerah di Indonesia, yaitu Pemerintah Daerah Bali. Bali dengan luas wilayah 5.633 Km2 (0,30 % terhadap luas seluruh Indonesia). Bali memiliki tingkat pertumbuhan penduduk dengan rata-rata (1,31 % pertahun) di bawah tingkat pertumbuhan penduduk nasional (1,49 % pertahun), dan dengan tingkat kepadatan penduduk sudah sangat padat, yakni 559 jiwa/Km2 (Sumber: BPS Prop. Bali, 2000). Akan tetapi, masalah kependudukan tersebut lebih menjadi persoalan apabila dilihat di Kota Denpasar. Kedudukan Denpasar sebagai Ibu Kota Propinsi Bali yang sangat sempit dengan luas wilayah 127,8 Km2, pertumbuhan penduduknya berada justru di atas rata-rata tingkat pertumbuhan penduduk nasional maupun Bali.
Tingkat pertumbuhan penduduk Kota Denpasar Tahun 2000 adalah sebesar 3,01% dengan rincian pertumbuhan alami sebesar 0,76 % dan pertumbuhan migran sebesar 2,25 %. Jumlah penduduk Kota Denpasar yang tinggi yaitu 561.000 orang/jiwa, ternyata dibarengi dengan tingkat kepadatan yang juga sangat tinggi, yakni sebesar 4.500 jiwa/km2( Sumber: BPS Prop. Bali, 2000).
Berdasarkan data, menunjukkan ada ketimpangan mengenai jumlah penduduk pendatang yang dikelola oleh dua lembaga yang berbeda ternyata bias dan mencengangkan. Data BPS menunjukkan angka yang gemuk yakni 561.814 jiwa, sedangkan pendataan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil yang melakukan pendataan yang berkelanjutan melibatkan aparat desa/kelurahan berdasarkan jumlah warga yang mengantongi KTP dan Kartu Identitas Penduduk Pendatang (KIPP). hanya membukukan angka 339.399. Perbedaan angka ini menunjukkan ada ratusan penduduk pendatang yang tidak melengkapi diri dengan identitas terjaring oleh Pendaftaran Pemilih dan Pendataan Penduduk Berkelanjutan (P4B).
Dilain pihak, etika pelayanan publik prakteknya masih terdapat adanya keluhan masyarakat mengenai sinyalemen adanya praktek KKN dalam pengurusan KTP di Kota Denpasar. Dari hasil jajak pendapat yang dilakukan Pusat Data Bali Post selama empat hari yaitu dari tanggal 17-21 Mei 2003, terhadap 500 pemilik telepon di Kota Denpasar, 48 % (237 responden) menyatakan ada indikasi KKN. Sementara yang menyatakan tidak ada indikasi KKN sebanyak 41 % (204 responden), dan selebihnya 11% (59 responden) menyatakan tidak tahu (Bali Post, 23 Mei 2003: 3).
Selain itu, hadirnya “pasar gelap pelayanan publik” (black- market) masih tetap ada dan tak dapat dihindarkan dalam pengurusan KTP. Adanya indikasi para calo KTP mentargetkan harga antara Rp. 200.000,- sampai Rp. 300.000,- untuk satu buah KTP bagi penduduk pendatang, tidak ditampik Kadis Kependudukan dan Capil Kota Denpasar (Den Post, 20 Juni 2003: 2).
Dalam penelitian ini ada temuan lapangan yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk menganalisis. Temuan tersebut adalah: pertama, adanya indikasi praktek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dalam hal pengurusan Kartu Tanda Penduduk. Indikasi tersebut dapat ditunjukkan oleh hasil pooling yang dilakukan pusat data Bali Post terhadap 500 pemilik telepon di Kota Denpasar, 48 % (237 responden) menyatakan ada indikasi KKN. Sementara yang menyatakan tidak ada indikasi KKN sebanyak 41 % (204 responden), dan selebihnya 11% (59 responden) menyatakan tidak tahu.
Selain itu, hadirnya “pasar gelap pelayanan publik” (black- market) masih tetap ada dan tak dapat dihindarkan dalam pengurusan KTP. Adanya indikasi para calo KTP mentargetkan harga antara Rp. 200.000,- sampai Rp. 300.000,- untuk satu buah KTP bagi penduduk pendatang. Hal ini, dapat dibuktikan dengan temuan lapangan yaitu adanya praktek- praktek birojasa baik secara sembunyi-sembunyi maupun secara terbuka dengan membuka kantor-kantor dengan papan nama resmi.
Selain itu, temuan lapangan dapat terlihat masih kentalnya unsur nepotisme melekat dalam urusan birokrasi. Hal ini, akan mengakibatkan terjadinya pelayanan yang diskriminatif dari aparat birokrasi.
Hasil kajian tentang etika pelayanan publik di Instansi teknis di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Denpasar dalam hal pengurusan KTP yang dilakukan oleh Sudana (2003) disimpulkan etika pelayanan belum optimal diterapkan dalam pelayanan publik. Hal ini dapat dilihat: pertama, lemahnya penerapan kode etik aparat dalam pelayanan, yang terindikasi dari adanya tindakan-tindakan yang menyimpang dalam memberikan pelayanan. Beberapa oknum aparat kadang-kadang menawarkan diri sebagai biro jasa atau calo yang mengarah kepada tindakan terjadinya korupsi; kedua, rendahnya kesadaran aparat birokrasi akan tanggung jawab dan disiplin dalam proses pelayanan, dan masih adanya tindakan diskriminasi pelayanan yang mengarah pada unsur nepotisme; ketiga, etika birokrasi dalam pelayanan publik masih sangat jauh dari yang diharapkan. Fenomena pemberian pelayanan ini terlihat. Seperti tindakan aparat yang mengharapkan balas jasa, adanya penyalahgunaan wewenang, menghindar dari tanggung jawab, pelanggaran terhadap aturan yang ditetapkan, dan munculnya diskriminasi dalam pelayanan. Dengan demikian, masyarakat pengguna jasa dirugikan dalam pelayanan secara komprehensif.
Lemahnya penerapan etika dalam pelayanan publik juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:
1. Pengawasan
Mekanisme pengawasan yang berfungsi sebagai antisipasi terhadap adanya tindakan-tindakan penyimpangan dalam penegakan etika pelayanan di Dinas tersebut dapat dinilai belum berjalan dengan baik dalam artian pengawasannya lemah. Hal ini terjadi karena: pertama, berkaitan pengawasan yang dilakukan oleh atasan terhadap bawahan pelaksanaannya monoton, hanya dilakukan pada saat apel, bukan pada saat jam-jam pelayanan. Dan sebaliknya saran dan kritik yang dilakukan bawahan terhadap atasan hanya ditampung saja tidak ditindak lanjuti oleh atasan; kedua, pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap organisasi tersebut tidak mendapat respon dari pihak-pihak yang berkompeten dalam organisasi ini, sehingga tidak ada umpan balik dalam mengevaluasi program selanjutnya, dan pengawasan yang melibatkan masyarakat secara langsung sebagai kekuatan bagi mekanisme chek and balances dalam proses penyelenggaraan negara menjadi sia-sia. Seperti pepatah lama ‘bagaikan anjing menggongong kafilah tetap berlalu’.
2. Konsitensi Aparat Birokrasi
Aparat belum memiliki konsistensi dalam penerapan etika pelayanan publik. Dalam artian, masih lemahnya kesadaran aparat birokrasi dalam penegakkan etika pelayanan publik. Hal ini terjadi karena: pertama, ketetapan aparat dalam bertindak yang sesuai aturan dengan pelayanan secara faktual terdapat kesenjangan; kedua, masih rendahnya rasa memiliki terhadap organisasi di tempat mereka bekerja, sehingga berimplikasi kepada pekerjaan yang dilakukan tidak dilaksanakan secara sungguh-sungguh berdasarkan hati nurani.
3. Komunikasi
Komunikasi belum berjalan efektif karena komunikasi yang telah dilakukan oleh pihak aparat dalam mensosialisasikan aturan seperti melalui penyebaran brosur, media cetak, dan melalui penyuluhan-penyuluhan langsung ke masyarakat belum memberikan hasil yang optimal. Hal ini disebabkan oleh minimnya tenaga penyuluh yang dimiliki oleh instansi yang bersangkutan, luasnya jangkuan wilayah penyuluhan,disamping adanya sikap apatis masyarakat dalam merespon informasi yang sebenarnya diperlukan.
Lanjutan >
Etika Pelayanan Publik dalam Proses Pengurusan KTP